April 25, 2016

Dua Tahun Bergelut Dengan Diabetes, Suwito Harus Merelakan kakinya Untuk Diamputasi



Bergelut dengan diabetes
Kisah pilu lain dari pria yang bernama suwito. Sudah dua tahun terkahir ini beliau terkena diabetes. Dan sejak kakinya diamputasi beberapa waktu yang lalu, beliau tidak bisa kembali bekerja. Dimana sebelumnya beliau bekerja sebagai mandor di sebuah proyek.

Saat ini yang dilakukan suwito hanyalah makan, tidur, minum obat, dan sesekali keluar untuk berobat.itulah aktivitas harian yang dijalani oleh suwito.

Beliau tinggal di kontrakan yang berukuran 5x8 meter di jalan Arjuna Gang 2 RT 13 Samarinda Kota. Dirinya nyaris tidak pernah keluar rumah. Jika keluar pun itu hanya untuk berobat. Penyakit diabetes telah merenggut kebahagiaan dirinya dan keluarganya.

Ketika dijenguk oleh tribunnews beliau terlihat duduk di ruang tengah rumahnya. Saat ditemui, beliau terlihat santai, hanya mengenakan kaos dalam dan celana pendek. Meski hanya memiliki satu kaki saat ini, ia terlihat bersyukur. Ia merasa lebih baik jika dibandingkan dengan kehilangan nyawa. Maklum, Karena gara-gara jaringan kaki kirinya mati sehingga hampir merenggut nyawanya. Beruntung dokter dapat bertindak cepat untuk menanganinya.


Beliau menuturkan bahwa dokter telah bertindak tepat saat itu. Karena telat sedikit nyawanya sebagai  bisa melayang. Dirinya baru mengetahui bahwa terdapat diabetes di dlam tubuhnya pada waktu empat tahun yang lalu. Saat itu ia curiga dengan kondisi tubuhnya yang sering lemas dan ngantuk. Akhirnya beliau pun memeriksakan kondisi kesehatannya ke dokter. Setelah diperiksa darahnya, ternyata kadar gula darahnya mencapai 390 mg/dl (yang normalnya 100 mg/dl).

Rupanya tidak berjalan lama, dua tahun setelah itu beliau merasa kaki kirinya ada yang tidak beres. Saat itu ia berinisiatif untuk pijat, namun yang terjadi malah kakinya menjadi bengkak dan berwarna biru. Namun tidak sampai terluka. Beliau pun akhirnya menuruti nasihat orang yaitu diolesi daun kecubung pada bagian kakinya yang bengkak.

Setelah diolesi rupanya terasa seperti terbakar, panas, kata suwito. Namun sembuh untuk saat itu. Rupanya efeknya tidak bertahan lama. Ketika wito beraktivitas seperti biasa, tiba-tiba sepulang aktivitas kakinya mati rasa. Saat itu ia sudah beristirahat dengan menonton televisi. Saat itu juga wito langsung dibawa ke rumah sakit. Sesampainya disana kondisi kaki wito terlihat membengkak dari telapak hingga pergelangan kaki.

Setelah dua hari menginap di rumah sakit, maka dokter pun bilang kepada wito kakinya harus dioperasi karena terdapat penyempitan pembuluh darah. Namun hal tersebut tidak dilakukan di sini, ia dirujuk ke RSUD AW Sjahranie. Sama seperti pasangan suami istri yang berobat kesana karena terkena diabetes juga.


Tim medis pun bergerak cepat. Setibanya disana, wito langsung mendapatkan penanganan. Hanya selang beberapa hari, bengkak yang biru tadi malah menjalar mendekati lutut. Yang lebih mengerikan lagi terdapat 7 ulat seukuran kelingking yang ditemukan di kaki wito yang memang sudah membusuk.

Opsi amputasi pun terlontar dari tim medis. Akhirnya wito pun diwajibkan mengumpulkan anggota keluarga untuk dimintai persetujuan. Dokter enggan bertanggung jawab apabila wito atau keluarganya menolak untuk diamputasi.

Wito menuturkan bahwa dirinya hanya mau diamputasi di bawah lutut, pada bagian yang dianggap rusak saja. Namun dokter bersikeras untuk mengamputasi kakinya hingga pangkal paha. “Dokter mungkin lebih tahu”, kata wito.

Ada rasa kecewa yang timbul di dalam hati wito karena merasa anggota tubuhnya tidak utuh kembali. Dan ia tidak bisa bekerja lagi, hanya berdiam diri di dalam rumah.

“Memang itu pilihan yang sulit. Tapi saya masih bersyukur karena masih bisa hidup hingga sekarang,” tutur wito.


Kebahagiaan ini tidak hanya dirasakan wito dan keluarganya. Para dokter yang menangani wito pun turut bersyukur atas tindakan cepat mereka dan memastikan wito dapat selamat dari penyakit ini. Dokter yang mengamputasi saya sampai menangis karena tidak mengira bahwa saya bisa sembuh.

Saat ini beliau rutin memeriksakan dirinya ke dokter.

No comments:

Post a Comment